PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini.[1] sebagai pemelihara kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya.
Dalam rangka itulah Allah membuat sebuah undang-undang yang nantinya
manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi
perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup
semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali,
sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka,
Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan
risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang
namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
Terkadang,
banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih kembali pada ajaran
islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an,
lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang terjerumus
pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat
melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh
karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam
melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak
mungkin umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk
pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat
disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’
mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak
Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai aqidah
yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya
kelak.
Di
sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi epistemologis
yang sangaty menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza
asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah hadits telah teruji
kesahihannya, itulah mazhabku”[2] Berawal
dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari
kontek kajian hadits.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum
Islam?
2. Bagaimana Fungsi Hadits terhadap Hukum Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui kedudukan Hadist terhadap hukum Islam
2. Mengetahui Fungsi Hadist terhadap hukum islam
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadist terhadap hukum Islam
Seluruh umat Islam,
telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia
mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat
Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan
kewajiban mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena,
hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun
yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis.
Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an
merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at.
Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang
untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan
sendiri.[3]
Al-Qur’an
itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undangan setelah Al-Qur’an
sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’
setelah Al-Qur’an”.[4]
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan
merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan
kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum
yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua
secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa
Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam
adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ …80
“Barangsiapa
yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh...”[5]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat
dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang
berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain
Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…”[6]
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ …
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya)…”[7]
B. Fungsi Hadist terhadap hukum islam
1. Bayan At taqrir
Bayan at taqrir
atau disebut juga bayan at ta’kid dan bayan al itsbat yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al quran. Fungsi hadits dalam
hal ini hanya memperkokoh kandungan Al quran.[8] contohnya seperti hadits dibawah ini;
فأذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (ru’yah)bulan, maka berpuasalah, juga
apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR Muslim)
Hadits ini
mentaqrir ayat Al quran dibawah ini;
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة 2: )185
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada
waktu itu bulan, maka hendaklah
ia berpuasa...(QS Al Baqarah)”
2. Bayan At tafsir
Yaitu bahwa
hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al
quran yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan
(taqyid) ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap
ayat-ayat yang masih bersifat umum.
1) Tafsil al mujmal
Hadits memberi
penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat yang masih bersifat global, baik
menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan
tafshil atau bayan tafsir.[9]
صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat” (HR Al bukhari)
Hadits ini
menjelaskan bagaimana sholat harus didirikan, sedangkan dalam Al quran perintah
sholat tidak dijelaskan secara rinci, seperti pada ayat berikut;
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة 2 :
)43
“Dan kerjakanlah sholat, tunaikan zakat, dan ruku’lah bersama
orang-orang yang ruku’ “ (QS Al baqarah 43)
2) Takhsish al ‘amm
Yaitu bahwa
hadits mengkhususkan ayat-ayat Al quran yang umum,[10] seperti pada contoh ayat berikut;
يوصيكم الله فى أولادكم للذكرمثل حظ الأنشيين (النساء 4: )11
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu; bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan.” (QS An Nisa 11)
Ayat diatas
masih umum, sedangkan hadits yang mentakhsish ayat tersebut yaitu;
نحن معاشرالأنبياء لا نورث ماتركناه
“kami para nabi tidak meninggalkan
harta warisan”
Selain hadits
tersebut ayat diatas juga di takhsish oleh hadits;
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta
pusaka)” (HR At Tirmidzi)
3) Taqyid al muthlaq
Hadits
membatasi kemutlakan ayat-ayat Al quran. Artinya Al quran keterangannya secara
mutlaq kemudian di taqyid dengan hadits tertentu,[11] misalnya pada ayat dibawah ini;
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة 5 : )38
“Pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (QS Al Maidah 38)
Dalam ayat
tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang harus di potong oleh karenanya
ditaqyid dengan hadits berikut ini;
أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
“Rasulullah SAW didatangi seseorang
dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangan”
3. Bayan At tasyri’
Yang
dimaksud dengan bayan tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati Al quran, atau dalam Al quran hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja.[12] Para
ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada suatu hal yang
tidak disebutkan dalam Al quran. mayoritas mereka bahwa sunnah berdiri sendiri
sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil
yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks Al quran.[13]
Didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al quran.
Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada
yang berupa penjelasan terhadap kandungan Al quran dan dalam hal-hal tertentu
Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang
eksplisit dalam Al quran.[14]
Surat Al A’raf ayat 157 menunjukkan demikian. Disana disebutkan;
ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهمم الخبائث... (الأعرف 157
“…Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS Al a’raf 157)
Contoh
hukum yang tidak terdapat dalam Al quran tetapi hanya terdapat dalam hadits
yaitu:[15] larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya dalam waktu yang
sama.
...لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين
المرأة وخالتها
“Tidak boleh dikumpulkan seorang
perempuan dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya”
Selain
itu juga larangan memakan daging “himar jinak” dan hewan yang mempunyai taring
dan berkuku tajam. Aturan yang hanya terkandung dalam sunnah ini mengikat semua
orang islam sebagaimana Al quran mengikat mereka.
4. Hadits menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al quran.
misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al baqarah ayat 180;
كتب عليكم إذا حضرأحدكم الموت إن ترك خيراا لوصية للوالدين والأقربين
بالمعروف حقا على المتقين (البقراة 2 : 180
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah kewajiban) atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al baqarah 180)
Ayat diatas dinasakh dengan hadits Nabi;
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah memberi hak
kepada setiap orang yang mempunyai hak dan tak ada wasiat itu wajib bagi
waris.” (HR An nasa’i)
Namun demikian
perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini masih terjadi
perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan adanya naskh namun
ada juga yang menolak naskh. Diantara kelompok yang membolehkan naskh yaitu;
golongan mu’tazilah, hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri. Sedangkan
ulama yang menolak naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian besar
pengikutnya, pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an dan hadist adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum
dan ajaran dalam Islam. Antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan
satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat
ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadist serta kedudukannya yaitu: sebagai sumber ajaran kedua
tampil untuk menjelaskan(bayan) atas Keumuman isi
al-Qur’an tersebut.
Adapun Fungsi Hadist terhadap Hukum Islam yaitu meliputi:
Bayan AT- Taqrir, Bayan At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’ dan bayan Naskh, akan
tetapi bayan naskh ini khilafiyah.
Pada
intinya hadist adalah salah satu sumber
hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
B.
Penutup
Demikianlah
Makalah ini disusun dengan segala usaha maksimal penulis, besar harapan kami
dapat memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Ulumul Hadits. Namun penulis menyadari masih belum sempurna dan harapan
penulis saran dan masukan demi kesempurnaan makalah ini.
Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan
Peraktik Madina,Jokjakarta:Islamika, 2003
Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, Bandung: Pustaka
Setia,2007
Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996
Munzier Saputra,ilmu HadisJakarta
PT RajaGrafindo Persada:1993.
Khon Abdul Majid, Ulumul Hadits, Amzah, Jakarta,
2009
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008
http://ebdulhamed.blogspot.co.id/2013/07/fungsi-hadist-sebagai-sumber-hukum-islam.html ( Diakses pada 30 septeber 2015 23.08 wib)
http://awanaalfaizy.blogspot.co.id/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-agama_2.html (Diakses pada 30 septeber 2015 23.08 wib)
http://udyaljawi.blogspot.co.id/2014/03/kedudukan-dan-fungsi-hadits-a.html
[1] Al-Qur’an dan terjemahnya
[2]
Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan Peraktik
Madinah.(Jokjakarta:Islamika, 2003) Hal: 15
[3] Utang
Ranuwijaya,Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1996) hal: 19
[4]
Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007)
hal:82.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008) Hal: 91
[6]
Ibid, Hal :546
[7]
Ibid, Hal: 87
[10] Ibid, hal;17
[11]
Ibid, hal : 18
[12]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 63
[15]
Ibid, hal : 205
1 komentar:
Click here for komentarsemga bermanfaat
ConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic