Segala puji bagi Alloh Swt. atas segala rahmatnya. Shalawat serta salam alloh semoga tetap tercurah limpahkan kepada rasululloh saw. Penulis bersyukur  kepada illahi rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufiknya sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
Dengan ditulisnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mahasiswa dapat memahami secara mendalam tentang Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan ilmu ushul fiqh.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para ahli, penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.
Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 11 Mei 2015 M
           
            PENULIS

































PENDAHULUAN


A.    Latar belakang

Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat yang sampai ini masih eksis di antara kita dan masyarakat. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari muhammadiyah, entah itu dari tata nilai sejarah atau perkembangannya di indonesia, yang mana berdirinya organisasi ini dipelopori oleh KH. Achmad Dahlan yang mana berdomisili di jogjakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M.
            Gerakan ini diberi nama oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya ‘izzul islam wal muslimin, kejayaan islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat islam sebagai realita.
            Satu hal yang menjadi permasalahan pokok dalam benak kita sebagai seorang muslim, bagaimana kita mengetahui suatu hukum dapat ditentukan?, karena yang kita bahas disini adalah Muhammadiyah, maka kita akan membahas tentang metode majlis tarjih Muhammadiyah, agar kita mengetahui langkah-langkah yang diambil dalam penetapan hukum tersebut.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa saja metode ijtihad majlis tarjih muhammadiyah?
2.      Bagaimana muhammadiyah menentukan suatu hukum dengan cara dan metode ijtihadnya?

C.     Tujuan

1.      Mengetahui  metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah.
2.      Mengetahui cara dan metode ijitihad muhammadiyah dalam menentukan suatu hukum.











PEMBAHASAN


A.    IJTIHAD

Secara etimologi, ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Sedangkan menurut ahli ushul fiqih, ijtihad menurut terminologi berarti mencurahkan segala kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’amali  yang tidak terdapat dalam al-Quran maupun as-sunnah dengan satu metode. Pengertian demikian didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Nabi.
Di masa Nabi, orang mengharapkan informasi ketentuan agama dari wahyu, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah,  dengan bermula mereka bertanya kepada Nabi. Dan Nabi menjawab dengan dasar al-Qur’an maupun al-Sunnahnya. Jika tidak, maka al-Qur’an memberikan arahan agar kaum muslimin melakukanistinbath yakni memahami penjelasan dari Rasul dan Uli ‘I-Amrii (al-Nisa:83)
Sabda nabi mengenai ijtihad ini bertalian dengan hukum. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya :”Apabila hakim menetapkan hukum dan berijtihadnya, ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila hakim menghukumi dengan melakukan ijtihad, dan ijtihad itu salah, maka ia mendapatkan satu pahala.”(HR. Bukhari Muslim).

B.     METODE IJTIHAD DALAM MANHAJ TARJIH MUHAMMDIYAH

Manhaj Tarjih Muhammadiyah membedakan tiga istilah teknis dalam ijtihad,yaitu metode( Bayani, Qiyasi, Istishlahi ), pendekatan( Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Hermenantik), dan teknik( Ijma’, Qiyas, Mashlih Mursalat, Al Urf).
Metode yang digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut :[1]

1.    Ijtihad Bayani

Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.[2]
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam, yaitu :
a)      Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata dalam surat Shad ayat 73:

Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”
Kata “malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b)      Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang mujmal menjadi mufshal, kata-kata khafi yang tersembunyi makna dan maksudnya, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil, yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan makna yang dapat diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW:
Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat
Maka kata-kata itu dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.
c)       Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.
·         Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendiri dan bersambung, yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil. Artinya, kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung, seperti:
1)      Istitsna’, contohnya ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2)      Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang mempunyai kemampuan.
3)      Sifat, contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita yang beriman, bukan semua budak beriman.
4)      Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang telah mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud baik.
5)      Ghayah, contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang berbuat bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat dakwah ajakan Rasul.
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal seperti ini, perlu ijtihad dengan bayan taghyir, seperti dalam surat al-Nur ayat 4, bahwa orang yang menuduh orang lain tanpa bukti dicambuk 80 kali. Dalam ayat 6-9, suami istri yang dituduh menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk dengan sistem hukum “li’an
·         Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang mutlaq menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyiddari lafazh mutlag, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat al-Maidah, bahwa allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am, Allah menyebutkanyang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan), yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh itmuqayyad atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir
Dari segi mencari hukum yang lebih mashlahah untuk dilakukan, maknabayan taghyir, atau dengan menerapakan prinsip sadd-u ‘l-dzari’ah.
d)      Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seoranh mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan dalam dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an.Nasikh-mansukh dalam al-Qur’an bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat yang bermaksud umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang  jelas, ada nasikh mansukh pada sunnah/al-Hadits. Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudian membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya yang berbunyi:”Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk ziarah kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR. Ibnu Majah)
e)      Bayan Dlarurah
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan.[3] Bayan  ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. Bayan Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
 Ã˜Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11:
Artinya :”Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga
Dalam ayat itu tidak disebutkan ketentuan sisa yang diambil dari  sepertiga untuk ibunya. Padahal dalam ayat tersebut disebutkan pewarisnya adlah ayah dan ibunya. Tidak menyebutkan yang mendapat sisa bagian sesudah diiambil ibu sepertiga mengandung pengertian bahwa disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan setelah diambil sepertiga oleh ibu, maka sisanya yaitu dua pertiga menjadi bagian ayah.
 Ã˜ Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberipenjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW waaktu menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya anak itu dianggap setuju.
 Ã˜ Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang diampunya melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang lain, didasarkan sabda Nabi SAW.
 Ã˜ Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab menghitungnya.

2.    Ijtihad Qiyasi

Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.[4] seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya,menghisap ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi.

3.     Ijtihad Istishlahi

Ijtihad Istilahi adalah ijtihad yang mengidentifikasi masalah – masalah yang tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan.[5] yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
a) Metode Istihsan
o  Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi
o  Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari kesempitan.
b)   Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan) maka patut dilarang, dengan dasar sad-u ‘l-dzari’ah. Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
c)   Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh), dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam halini adalah melakukan penelitian sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan mafsadahyang akan terdapat, apabila ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan untuk dicapai suatu mashlahah ataumafsadat yang harus dihindari.
d)  Menetapakan hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada, berlakumendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang lebih besar.[6]
e)   Ijtihad  dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seperti dalam memahami ayat 12 Saba’, yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman as diberi kemampuan (oleh Allah) mengendalikan angin. Itu merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada nabi Sulaiman as. Kita bukan berfikir, bagaimana cara untuk mendapatkan kemampuan mengendalikan angin yang bersifat mukjizat itu. Tetapi hendaknya kita berfikir dan meneliti, apakah angin itu? Bagaimana dapat terjadinya angin? Apa yang dapat diketahui tentang sebab musabab terjadinya angin? Apa mudlarat dan manfaat yang ditimbulkan oleh adanya angin?
Dengan melihat pada ayat-ayat yang menyebutkan tentang pada surat ar-Rum aytat 48, bahwa hakikat terjadinya angin adlah kehendak Allah, yang fenomenanya angin itu menyebabkan awan yang merata sesuai dengan kehendakNya dan membawa hujan, yang hujan itu dapat menyuburkan tanah/bumi, yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Dalam ayat selanjutnya, Allah memerintahkan kita agar berfikir tentang rahmat Allah yang ditimbulkan oleh angin yang meratakan awan, meratakan/menurunkan hujan dan menyuburkan tanah. Sebaliknya angin juga dapat membuat bencana fenomena lain, angin dapaat menjadi perkawinan bunga, sehingga menjadi buah, seperti tersebut dalam surat al-Hijr ayat 22.
Memahami ayat-ayat tersebut tidaklah berarti kita berfikir secara tekstual, bahwa untuk mengkawinkan bunga-bunga agar menghasilkan buah hanya yang ditimbulkan oleh angin belaka, tetapi juga menggunakan nalar berdasarkantajribiyah (percobaan-percobaan), sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW tatkala menjumpai orang-orang Madinah melakukan memindahkan sari bunga, dengan cara yang telah dilakukan sejak lama dan berhasil yang kemudian Nabi pun menyerahkan kepada ummat dan sekaligus membolehkan cara-cara tersebut (cara-cara itu merupakan embrio teknologi tepat guna dalam Islam), dengan sabdanya:”Kamu lebih mengetahui urusan-urusan dunia mu

















PEMBAHASAN


A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab ii maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan, sedangkan secara istilah ijtihad berartimencurahkan segala kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’amali yang tidak terdapat dalam al-Quran maupun as-sunnah dengan satu metode.
                                      Metode ijtihad dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dapat dirumuskan ke dalam 3 bentuk yaitu:
a.       Ijtihad Bayani, adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya. Terdapat lima bayan yaitu:
·         Bayan Taqrir
·         Bayan Tafsir
·         Bayan Taghyir
·         Bayan Tabdil
·         Bayan Dlarurah
b.      Ijtihad Qiyasi, adalah ijtihad yang dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
c.       Ijtihad Istishlahi, adalah ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
·         Metode Istihsan
·         Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
·         Metode Istishlah
·         Menetapkan hukum ‘urf
·         Menafsirkan ayat kauniyah

B.     Penutup

Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur serta menambah iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang  membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami selanjutnya.

Terima kasih.                                                                                      


Asjmuni, Abdurrahman, 2010, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Djamil, Fathurrahman, 1995, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos.
Mu’allim, Amir dan Yusdani, 2001, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press.



[1] Asjmuni abdurrahman, Manhaj tarjih Muhammadiyah metode dan aplikasinya. (Yogyakarta;pustaka pelajar,2010) hal. 105-106.
[2] Fathurrahman Djalil, Metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah. (Jakarta; Logos, 1995) hal. 07.
[3] Asjmuni abdurrahman, Op. Cit. Hal. 106
[4] Ibid hal. 107
[5] Amir mu’alim dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran hukum islam, (Yogyakarta: UII Press, Ed.1 cet.2 hal. 61)
[6] Asjmuni abdurrahman, Op. Cit. Hal. 108-109

Previous
This is the oldest page
Thanks for your comment